Bagi masayarakat Bali, kalender bukan semata-mata deretan angka yang menunjukkan pergeseran waktu. Di dalam kalender Bali tercantum sejumlah agenda upacara di pura, hari-hari suci umat Hindu, baik-buruknya waktu, maupun sejumlah catatan penting yang terkait dengan tradisi Hindhu Bali.
Kaleder yang rumit dan detail ini merupakan karya intelektual I Ketut Bangbang Gde Rawi yang pertama kali dicetak sekitara tahun 1950an. Setelah beliau wafat pada tahun 1989, penyusunan kalender ini diteruskan oleh putranya Made Bambang Suartha. “Setelah Bapak meninggal tahun 1997, saya yang melanjutkan tugas ini,” ujar Jro Mangku Nyoman Bambang Gde Bayu, putra Bambang Suartha dan cucu Gde Rawi.
Meski saat ini sudah banyak ahli penyusun kalender Bali, namun tradisi penyusunan kalender Bali ini tak dapat dilepaskan dari jasa almarhum Ketut Bangbang Gde Rawi dan generasi penerusnya. Karena itu, mediaHALO sengaja menampilkan profil Jro Mangku N. Bambang Gde Bayu dalam edisi awal tahun 2006 ini. Saat ditemui mediaHALO di kediamannya di Br. Cemenggaon, Celuk, Kec. Sukawati – Ubud, Gde Bayu yang menyandang gelar Pemangku Kayangan Tiga ini mengisahkan tentang rumitnya menyusun kalender Bali dan upayanya menyelematkan karya sastra ini.
Sejak kapan Anda belajar menyusun kalender Bali?
Saya mulai tertarik mempelajari kalender sejak SMA. Waktu itu setiap kali ulangan pelajaran agama dengan topik wariga (penanggalan, red) nilai saya selalu jelek. Sebagai cucu Gde Rawi, saya merasa malu. Kemudian saya bawa soal-soal ulangan itu pada Kakek dan mempelajari rumusnya. Setelah berulang kali diuji Kakek, berikutnya nilai ulangan saya jadi bagus. Sejak itulah saya tekun mempelajari ilmu kalender. Saya mulai terlibat menyusun kalender bersama Kakek sekitar tahun 1989, saat itu saya masih kuliah. Saya melakukannya secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Bapak.
Kenapa diam-diam?
Orang tua jaman dulu itu kan penginnya anak-anak cepat menyelesaikan kuliah, jadi sarjana, kemudian jadi pegawai negeri. Kami hanya disuruh belajar, Bapak juga selalu melarang Kakek untuk tidak mengganggu waktu belajar cucu-cucunya. Kakek saya kan senang mendongeng, bercerita, atau menulis. Setelah saya mulai tertaik kalender, saya diam-diam belajar dari Kakek, takut dimarahi Bapak. Tapi begitu Kakek meninggal dan Bapak menemukan tulisan saya bersama Kakek, barulah Bapak bisa mengerti. Pada akhirnya, sebelum Bapak meninggal, beliau banyak memberikan buku-buku dan catatan tentang kalender pada saya.
Saat ini banyak penyusun kalender di Bali. Bagaimana menurut Anda?
Begini, ilmu menyusun kalender dan ilmu kalender itu berbeda. Menyusun kalender itu mudah sekali, dengan sedikit belajar orang bisa menyusun kalender. Tapi ilmu tentang kalender, tidak bisa instan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mempelajarinya. Kita tidak boleh begitu saja mengutip bahan-bahan dari lontar atau buku. Tetapi harus mengolahnya kembali dan menyajikan ke dalam tulisan yang mudah dicerna. Sehingga masyarakat yang berpendidikan rendah pun dapat memahami isinya. Inilah yang dilakukan oleh Kakek saya, membuat formula baru dari bahan-bahan yang dikumpulkan. Tugas saya hanya meneruskan apa yang sudah disusun Kakek. Saya berusaha menjaga kredibilitas, tidak menyimpang dari apa yang sudah digariskan. Namun bersedia menerima masukan-masukan baru karena masyarakat makin pandai dan kritis. Sebisa mungkin setiap tahun saya berusaha menyajikan informasi baru sebagai tambahan pengetahuan untuk umat. Supaya tidak terkesan monoton.
Berapa waktu yang Anda butuhkan untuk menyusun kalender sebelum dicetak?
Catatan-catatan kecil biasaya sudah mulai saya kumpulkan sejak awal tahun. Namun untuk menyusunnya harus menunggu SK Menteri mengenai hari-hari libur nasional, biasanya dikeluarkan bulan Juli. Kurang lebih butuh waktu 2 bulan jika dilakukan secara intens.
Ngomong-ngomong bagaimana cara menjaga keakuratan penghitungan dalam sistem kalender Bali?
Meskipun secara GMT rumusan kalender ini tepat, namun secara kultural terdapat sistem penghitungan khusus yang jatuh tiap 15 hari. Untuk menghindari pergeseran, rumus penyusunan kalender ini harus diuji setidaknya setiap 100 tahun. Setiap 100 tahun kalender, dilkaji pergeseran yang muncul pada tiap tahunnya. Jika penentuan purnama tilem ketepatannya masih di atas 60%, maka rumus tersebut dapat diteruskan. Namun jika meleset di bawah 50%, harus disiapkan rumus baru.
Setidaknya sudah lebih setengah abad kalender yang disusun Gde Rawi digunakan masyarakat Bali. Adakah rencana ke depan yang sudah Anda siapkan selain meneruskan tradisi ini?
Yang sudah saya lakukan adalah upaya hukum. Bentuk kalender, bingkai ukiran, susunan hari, potret Gde Rawi dan nama penyusun kalender ini sudah saya patenkan sejak tahun 2002. Artinya, jika ada pihak lain yang menjiplak, dapat dikenakan sanksi hukum. Hal ini saya lakukan untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat merugikan bersama. Uang saja bisa dipalsukan, apalagi kalender? Karena itu kalender ini hanya dicetak pada satu percetakan. Secara khusus memang tidak ada kontrak dengan percetakan tersebut karena sebagai manusia biasa kita tidak tahu apa yang dikehendaki Sang Hyang Widhi. Tetapi demi menjaga hubungan baik yang sudah dirintis sejak lama, kalender ini dicetak di tempat yang sama. Bahkan pihak percetakan juga sedang berencana menyiapkan ruang khusus untuk memajang master kalender ini....
Semacam museum ya?
Kurang lebih begitu. Tetapi belum tahu pasti kapan terealisir. Yang jelas semua naskah asli masih saya simpan dalam almari kaca. Saya susun seperti gantungan baju setiap lembarnya. Mudah-mudahan bisa segera terwujud, sehingga dapat membantu para peneliti yang ingin melakukan studi. (tita/dec - 2005)
Kaleder yang rumit dan detail ini merupakan karya intelektual I Ketut Bangbang Gde Rawi yang pertama kali dicetak sekitara tahun 1950an. Setelah beliau wafat pada tahun 1989, penyusunan kalender ini diteruskan oleh putranya Made Bambang Suartha. “Setelah Bapak meninggal tahun 1997, saya yang melanjutkan tugas ini,” ujar Jro Mangku Nyoman Bambang Gde Bayu, putra Bambang Suartha dan cucu Gde Rawi.
Meski saat ini sudah banyak ahli penyusun kalender Bali, namun tradisi penyusunan kalender Bali ini tak dapat dilepaskan dari jasa almarhum Ketut Bangbang Gde Rawi dan generasi penerusnya. Karena itu, mediaHALO sengaja menampilkan profil Jro Mangku N. Bambang Gde Bayu dalam edisi awal tahun 2006 ini. Saat ditemui mediaHALO di kediamannya di Br. Cemenggaon, Celuk, Kec. Sukawati – Ubud, Gde Bayu yang menyandang gelar Pemangku Kayangan Tiga ini mengisahkan tentang rumitnya menyusun kalender Bali dan upayanya menyelematkan karya sastra ini.
Sejak kapan Anda belajar menyusun kalender Bali?
Saya mulai tertarik mempelajari kalender sejak SMA. Waktu itu setiap kali ulangan pelajaran agama dengan topik wariga (penanggalan, red) nilai saya selalu jelek. Sebagai cucu Gde Rawi, saya merasa malu. Kemudian saya bawa soal-soal ulangan itu pada Kakek dan mempelajari rumusnya. Setelah berulang kali diuji Kakek, berikutnya nilai ulangan saya jadi bagus. Sejak itulah saya tekun mempelajari ilmu kalender. Saya mulai terlibat menyusun kalender bersama Kakek sekitar tahun 1989, saat itu saya masih kuliah. Saya melakukannya secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Bapak.
Kenapa diam-diam?
Orang tua jaman dulu itu kan penginnya anak-anak cepat menyelesaikan kuliah, jadi sarjana, kemudian jadi pegawai negeri. Kami hanya disuruh belajar, Bapak juga selalu melarang Kakek untuk tidak mengganggu waktu belajar cucu-cucunya. Kakek saya kan senang mendongeng, bercerita, atau menulis. Setelah saya mulai tertaik kalender, saya diam-diam belajar dari Kakek, takut dimarahi Bapak. Tapi begitu Kakek meninggal dan Bapak menemukan tulisan saya bersama Kakek, barulah Bapak bisa mengerti. Pada akhirnya, sebelum Bapak meninggal, beliau banyak memberikan buku-buku dan catatan tentang kalender pada saya.
Saat ini banyak penyusun kalender di Bali. Bagaimana menurut Anda?
Begini, ilmu menyusun kalender dan ilmu kalender itu berbeda. Menyusun kalender itu mudah sekali, dengan sedikit belajar orang bisa menyusun kalender. Tapi ilmu tentang kalender, tidak bisa instan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mempelajarinya. Kita tidak boleh begitu saja mengutip bahan-bahan dari lontar atau buku. Tetapi harus mengolahnya kembali dan menyajikan ke dalam tulisan yang mudah dicerna. Sehingga masyarakat yang berpendidikan rendah pun dapat memahami isinya. Inilah yang dilakukan oleh Kakek saya, membuat formula baru dari bahan-bahan yang dikumpulkan. Tugas saya hanya meneruskan apa yang sudah disusun Kakek. Saya berusaha menjaga kredibilitas, tidak menyimpang dari apa yang sudah digariskan. Namun bersedia menerima masukan-masukan baru karena masyarakat makin pandai dan kritis. Sebisa mungkin setiap tahun saya berusaha menyajikan informasi baru sebagai tambahan pengetahuan untuk umat. Supaya tidak terkesan monoton.
Berapa waktu yang Anda butuhkan untuk menyusun kalender sebelum dicetak?
Catatan-catatan kecil biasaya sudah mulai saya kumpulkan sejak awal tahun. Namun untuk menyusunnya harus menunggu SK Menteri mengenai hari-hari libur nasional, biasanya dikeluarkan bulan Juli. Kurang lebih butuh waktu 2 bulan jika dilakukan secara intens.
Ngomong-ngomong bagaimana cara menjaga keakuratan penghitungan dalam sistem kalender Bali?
Meskipun secara GMT rumusan kalender ini tepat, namun secara kultural terdapat sistem penghitungan khusus yang jatuh tiap 15 hari. Untuk menghindari pergeseran, rumus penyusunan kalender ini harus diuji setidaknya setiap 100 tahun. Setiap 100 tahun kalender, dilkaji pergeseran yang muncul pada tiap tahunnya. Jika penentuan purnama tilem ketepatannya masih di atas 60%, maka rumus tersebut dapat diteruskan. Namun jika meleset di bawah 50%, harus disiapkan rumus baru.
Setidaknya sudah lebih setengah abad kalender yang disusun Gde Rawi digunakan masyarakat Bali. Adakah rencana ke depan yang sudah Anda siapkan selain meneruskan tradisi ini?
Yang sudah saya lakukan adalah upaya hukum. Bentuk kalender, bingkai ukiran, susunan hari, potret Gde Rawi dan nama penyusun kalender ini sudah saya patenkan sejak tahun 2002. Artinya, jika ada pihak lain yang menjiplak, dapat dikenakan sanksi hukum. Hal ini saya lakukan untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat merugikan bersama. Uang saja bisa dipalsukan, apalagi kalender? Karena itu kalender ini hanya dicetak pada satu percetakan. Secara khusus memang tidak ada kontrak dengan percetakan tersebut karena sebagai manusia biasa kita tidak tahu apa yang dikehendaki Sang Hyang Widhi. Tetapi demi menjaga hubungan baik yang sudah dirintis sejak lama, kalender ini dicetak di tempat yang sama. Bahkan pihak percetakan juga sedang berencana menyiapkan ruang khusus untuk memajang master kalender ini....
Semacam museum ya?
Kurang lebih begitu. Tetapi belum tahu pasti kapan terealisir. Yang jelas semua naskah asli masih saya simpan dalam almari kaca. Saya susun seperti gantungan baju setiap lembarnya. Mudah-mudahan bisa segera terwujud, sehingga dapat membantu para peneliti yang ingin melakukan studi. (tita/dec - 2005)
No comments:
Post a Comment