Monday, 18 May 2009

Cak Kartolo: “Lawakan Jangan Membuat Susah Orang Lain”

Di kalangan masyarakat Jawa Timur, Kartolo adalah nama yang tertanam dalam setiap benak. Lewat ludruk yang penuh lawakan, Kartolo dikenal seantero Jawa Timur. Penggemarnya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari tukang becak, buruh bangunan, sopir angkutan, karyawan toko, mahasiswa, pegawai kantor pemerintah, pengusaha, hingga pejabat.

Lawakan Kartolo juga dapat dinikmati penggemarnya lewat kaset. Setidaknya ada 95 kaset rekaman “Jula-Juli Guyonan Kartolo” yang diproduksi pada dekade tahun 80an. Pada kurun waktu inilah Kartolo berada dalam puncak popularitas sebagai seniman ludruk. “Sebelumnya saya pernah bermimpi terbang ke awang-awang. Saya tidak menyangka jika di kemudian hari nama saya bisa melambung,” ujarnya.

Meski sudah populer, dalam kesehariannya Kartolo tetap tampil lugu dan bersahaja. Saat ditemui mediaHALO di kediamanan di daerah Kupang Jaya Surabaya, Kartolo berkisah tentang kesahajaan seniman tradisional yang telah dijalananinya selama lebih dari 40 tahun.


Bagaimana awal mulanya Anda menerjuni kesenian ludruk?
Sejak kecil saya sering nonton ludruk yang main di desa saya, desa Watu Agung, Pandaan. Saya bisa menghafal kidungan-kidungan ludruk. Sewaktu duduk di Sekolah Rakya (SR) saya belajar karawitan dan sering ikut pentas. Saya mulai bergabung dengan rombongan ludruk setelah tamat SR sekitar tahun 60an. Mula-mula bergabung dengan grup Marga Santosa yang ada di desa kelahiran saya. Tahun 1963 saya diambil rombongan ludruk Panca Tunggal di Pandaan. Sewaktu peristiwa 65, kegiatan ludruk sempat berhenti. Baru tahun 67 main ludruk lagi dengan grup Dwikora, kemudian Gajah Mada, ludruk Tansah Tresno dan Bintang Surabaya, kemudian grup ludruk Jombang Selatan…

Wah, sudah banyak sekali grup yang diikuti?
Iya, waktu masih bujangan saya nggedong (main ludruk) ke mana-mana, ke berbagai daerah. Dalam sebulan bisa main di 17 tempat. Saya baru berhenti mengembara setelah ketemu Kastini di RRI Surabaya. Tahun 1971 saya bergabung dengan ludruk RRI Surabaya. Tahun 1974 saya menikahi Kastini dan keluar dari RRI. Setelah itu bergabung dengan ludruk Persada Malang. Saya baru berhenti main ludruk setelah rekaman kaset lawakan. Banyak yang kemudian meminta saya untuk main lawakan saja seperti di kaset.

Siapa saja yang bergabung dalam rekaman kaset lawakan itu?
Kelompok lawakan saya sekarang tinggal bertiga, Sapri, Kastini, dan saya. Sebelumnya ada Basman, Munawar, Sokran, dan Blontang. Tapi mereka sudah meninggal. Karena tinggal bertiga, kami sering mengajak pemain lain. Suatu ketika pernah juga anak saya yang bungsu ikut main karena butuh peran tambahan.

Mulai mewariskan tradisi kesenian pada anak-anak ya?
Sebenarnya saya belum mengijinkan anak-anak untuk terjun ke seni ludruk, biar kuliah dulu sampai lulus. Nanti kalau sudah lulus terserah mau bekerja di mana atau mau jadi seniman. Dulu saya pengin jadi orang pinter tapi karena nggak punya bondho, terpaksa nggedong. Saya cuma lulus SR, tidak melanjutkan sekolah karena cari uang. Sekarang saya sudah punya bondho, bisa menyekolahkan anak-anak. Kuliahnya biar rampung dulu.

Ngomong-ngomong bagaimana persiapan yang Anda lakukan sebelum naik panggung?
Kalau ada permintaan pentas, biasanya saya mencari tahu untuk kepentingan apa saya diundang. Kalau untuk acara pernikahan saya akan membuat kidungan tentang pernikahan. Untuk acara di kampus, juga akan saya buatkan materi yang berbeda. Semua kidungan yang saya buat tidak pernah ada yang sama. Saya sendiri juga heran kok bisa begitu. Sampai-sampai ada penonton setia saya di Blitar yang memuji karena meskipun sudah berkali-kali main di sana, kidungan yang saya mainkan nggak pernah mengulang, selalu baru. Mungkin ini anugerah yang harus saya syukuri.

Berapa lama Anda menyusun kidungan?
Sebentar saja. Misalnya besok malam pentas, hari ini saya sudah bisa menyelesaikan kidungan. Kadang-kadang kalau lagi nggak ada pekerjaan, saya sering menyusun kidungan. Barangkali nanti bisa dipakai kalau sewaktu-waktu pentas. Saya pernah membuat kidungan Mo Limo, cerita tentang judi. Saya menggunakan contoh diri saya sendiri. Ternyata ada pendengar yang kemudian datang dan menyalami saya. Katanya, setelah mendengarkan kidungan Mo Limo dia jadi bertobat, berhenti main judi. Dalam membuat kidungan dan lawakan saya berusaha menghindari kritikan langsung, tapi dengan cara yang lebih halus. Jangan sampai lawakan itu membuat susah orang lain.

Kalau diundang Partai Politik bagaimana membuat kidungannya?
Saya nggak pernah mau. Kalau ada undangan untuk kampanye Parpol atau Pilkada selalu saya tolak. Saya bukan orang politik. Saya pengin berkesenian secara murni. Beberapa waktu lalu saya mendapat penghargaan dari pemerintah. Saya malah bingung, kenapa dikasih penghargaan ya? Ada apa ini? (tita/jan - 2006)

No comments:

Post a Comment