Tuesday, 19 May 2009

Yuyun Chandra, Mengelola Museum


Bagi sebagian orang, museum bukanlah tempat yan menarik untuk dikunjungi. Museum hanya mengingatkan kita pada “keterpaksaan” yang pernah kita alami semasa duduk di bangku sekolah, saat study-tour bersama para guru yang menugasi kita untuk mencatat peristiwa dan tahun-tahun bersejarah. Sementara itu fasilitas dan bangunan yang dimilki museum selalu mencerminkan kekunoan. Bahkan beberapa di antaranya berdebu dan pengab. Tak hanya itu, para guide dan petugas museum pun biasanya sudah berusia lebih dari separoh abad.

Citra museum yang sudah terlanjut lekat dengan kekunoan membuat kita yang hidup di era digital menjadi enggan mengunjungi museum. Padahal, museum menyimpan kejayaan dan kekayaan masa lalu yang dapat kita jadikan sebagai suritauladan. Banyak manfaat yang dapat kita petik dengan mengunjungi museum. Hanya saja manfaat itu tidak kita peroleh secara instant, tetapi melalui proses perenungan panjang.

Merosotnya minat generasi muda mengunjungi museum menjadikan keprihatinan tersendiri bagi para pengelola museum. Hal ini pula yang dirasakan Yuyun Candra, Manger Operasional House of Sampoerna, museum milik produsen rokok kretek tertua dan terbesar ke-4 di dunia, yaitu Sampoerna. Memasarkan museum memang membutuhkan strategi pemasaran khusus. Yuyun Candra yang ditugasi mengepalai operasional House of Sampoerna, menuturkan pergulatannya dalam melestarikan cagar budaya.

Memperingati ulang tahun ke-90 pada tahun 2003, Sampoerna memugar kompleks pabrik pertama rokok Dji Sam Soe. Kenapa kompleks itu kemudian dijadikan museum?

Sebenarnya House of Sampoerna merupakan jawaban atas banyaknya keinginan orang untuk mengunjungi Sampoerna. Melalui museum ini pengunjung akan mendapatkan kisah perjalanan hidup Liem Seeng Tee, pendiri Sampoerna, maupun melihat dari dekat aktifitas produksi rokok kretek Dji Sam Soe. Dari sisi historie, bangunan bergaya kolonial Belanda yang didirikan tahun 1913 ini mencatat sejarah yang sangat berharga. Bagi Sampoerna, kawasan ini adalah tempat tinggal sekaligus pabrik pertama yang dibangun. Tetapi kawasan ini juga merupakan cagar budaya yang patut dilestarikan karena merupakan kawasan kota lama Surabaya.

Sebagai museum yang berdiri di tengah-tengah kawasan kota lama Surabaya, apakah tidak memberikan kesan bahwa House of Sampoerna juga kuno seperti museum lain pada umumnya?

Kalau hanya menyebutnya sebagai museum memang kesannya kuno, tetapi cobalah bertanya pada mereka yang sudah pernah berkunjung ke mari. House of Sampoerna bukan museum yang kuno, kotor, dan berdebu. Malam adem, sejuk, disertai aroma cengkeh yang sedap. Bangunannya yang bergaya kolonial dan diberi sentuhan modern juga merupakan karya arsitektur yang layak dinikmati. Dengan merawat bangunan kuno, House of Sampoerna justru ingin memperlihatkan bahwa bangunan kuno tidak selalu angker tetapi juga bisa mendatangkan profit.

Lalu bagaimana Anda mengkomunikasikan pada publik bahwa House of Sampoerna berbeda dengan museum kebanyakan?

Menciptakan suansa museum yang menyenangkan, fun, merupakan langkah awal yang kami tempuh. Suasana itu tercipta secara internal dengan melibatkan mahasiswa yang bekerja secara paruh waktu di House of Sampoerna. Hampir 90% staf di sini masih berstatus mahasiswa. Suasana kerja pun menjadi lebih rileks, tidak kaku, bahkan terasa fresh. Secara eksternal, kami membuat berbagai event meriah untuk menggairahkan museum. Beberapa waktu lalu kami membuat acara rally museum dengan menggandeng 3 museum yaitu Tugu Pahlawan, Museum Kesehatan, dan House of Sampoerna. Acaranya meriah seperti layaknya rally, ada kuis, games, door-prize dan lain sebagainya. Tetapi muatan edukasinya juga ada, peserta kemudian jadi lebih mengenal museum. Padahal semula banyak yang belum pernah mengunjungi Tugu Pahwalan dan Museum Kesehatan. Bulan Agustus ini juga akan diadakan festival film karya pelajar dan mahasiswa. Kami berusaha membuat acara-acara yang murah, meriah, melibatkan banyak orang sehingga mereka mau datang ke House of Sampoerna. Yang penting datang dan lihat dulu.

Selain museum juga ada galeri, kafe, dan kios. Apa yang melatarbelakangi pemilihan bidang tersebut dibuka secara bersamaan?

Sebenarnya ini sebuah obsesi. Kami ingin House of Sampoerna menjadi tempat wisata yang lengkap. Ada obyek yang dipelajari lewat museum, ada yang bisa dilihat di galeri seni, kalau capek sudah tersedia makanan di kafe, dan sebelum pulang pengunjung bisa memilih oleh-oleh di kios cinderamata yang kami sediakan. Secara lebih luas, House of Sampoerna ingin menjadi tujuan wisata alternatif di Surabaya. Selama ini orang berkunjung ke Surabaya hanya untuk kepentingan bisnis, obyek wisatanya ya cuma mall. House of Sampoerna menyediakan alternatif wisata unik di kawasan kota lama Surabaya. Lima tahun mendatang kami berharap House of Sampoerna sudah dikenal di seluruh nusantara, sehingga ketika ada yang akan berkunjung ke Surabaya orang lantas mereferensikan House of Sampoerna sebagai tempat yang layak dikunjungi.

Wow, luar biasa sekali. Tentunya dibutuhkan sosok yang juga luar biasa untuk mengelola museum, galeri, sekaligus kafe dan kios seperti itu. Bagaimana Anda mampu mengelolanya secara sinergis?

Hahaha..konon, inilah kelebihan kaum hawa. Para peremuan dikarunia kemampuan untuk mengelola berbagai hal secara seimbang dalam waktu yang bersamaan, berbeda dengan kaum Adam yang cenderung terfokus pada bidang tertentu. Tetapi secara khusus saya juga terus berupaya membangun networking dengan berbagai bidang yang terkait dengan museum, seperti aktif dalam Paguyuban Pelestarian Pustaka Indonesia (P3I). Galeri seni juga mengajari saya mengasah sense of art memberikan dorongan untuk mengikuti berbagai acara yang terkait dengan seni lukis. Karena kami juga mengelola kafe, mau tak mau wawasan tentang kuliner harus terus diasah (tita - agustus 2005)

No comments:

Post a Comment