Majalah Sastra Horison, menjulukinya sebagai sastrawan terproduktif di Indonesia pada saat ini. Sedikitnya 300 judul buku diterbitkannya serta ratusan judul karya sastra berupa novel, cerpen, dan puisi yang ditulisnya. Ia juga menulis lebih dari 50 judul cerita anak-anak. “Saya terbiasa bekerja sebagai jurnalis yang taat deadline,” ujar Korrie Layun Rampan yang oleh Pemerintah RI dianugerahi Hadiah Seni pada tahun 2006.
Sebelum menekuni dunia sastra, Korrie terlebih dulu mengasah ketrampilan menulisnya dengan menjadi reporter semasa kuliah di UGM Yogyakarta pada tahun 1971. Tahun 1976 novelnya yang berjudul Upacara memenangkan sayembara mengarang roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Setahun kemudian ia hijrah ke Jakarta dan menjadi jurnalis di berbagai media cetak, RRI, dan TVRI. Bahkan Korrie juga dipercaya menjadi Redaktur Pelaksana sekaligus Direktur Keuangan Majalah Sarinah.
Yang menarik, hampir semua karya sastra yang ditulisnya selalu mengangkat tema lokal kehidupan suku Dayak Benuaq. “Menulis karya sastra itu akan lebih mudah dilakukan jika mengangkat tema yang dekat dengan keseharian kita,” ujarnya. Kiat itulah yang diikutinya ketika hendak menulis novel Upacara yang memenangkan penghargaan sastra bergengsi pada tahun 1976. Sejak itu Korrie selalu menulis roman dengan warna lokal masyarakat Dayak di pedalaman Kaltim, khususnya di Kutai Barat.
Bagi Korrie, mengangkat mitos dan legenda suku Dayak ke dalam novel juga dilakukannya untuk menyuarakan masyarakat di pedalaman. Kemiskinan masih merupakan jerat bagi kehidupan masyarakat setempat. “Padahal Kutai Barat ini termasuk wilayah yang kaya hasil hutan, tambang, maupun kelapa sawitnya,” tegasnya. Sebagai orang Dayak yang pernah hidup dalam kemiskinan dan berhasil meraih sukses di Ibu Kota, Korrie terus memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagai masyarakat di kampung halamannya.
Selain melalui karya sastra, Korrie juga berkarya secara nyata dengan kembali ke Barong Tongkok, Kutai Barat sejak tahun 2001. Di kota kecilnya itu Korrie menerbitkan harian Sendawar Pos, turut merintis pendirian Universitas Sendawar, dan juga menyiapkan pembangunan Pusat Dokumentasi Sastra Korrie Layun Rampan. “Saya sering prihatin melihat perpustakaan di sekolah-sekolah yang tak memiliki koleksi buku sastra,” ujarnya.
Tekadnya membangun daerah semakin nyata dengan terpilihnya Korrie menjadi anggota Dewan. “Banyak tawaran mengajar sebagai dosen tamu di luar negeri yang saya tolak, karena saya ingin tetap tinggal di Kutai Barat,” ujar Ketua Komisi I DPRD Kab. Kutai Barat ini mantap.
Sebelum menekuni dunia sastra, Korrie terlebih dulu mengasah ketrampilan menulisnya dengan menjadi reporter semasa kuliah di UGM Yogyakarta pada tahun 1971. Tahun 1976 novelnya yang berjudul Upacara memenangkan sayembara mengarang roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Setahun kemudian ia hijrah ke Jakarta dan menjadi jurnalis di berbagai media cetak, RRI, dan TVRI. Bahkan Korrie juga dipercaya menjadi Redaktur Pelaksana sekaligus Direktur Keuangan Majalah Sarinah.
Yang menarik, hampir semua karya sastra yang ditulisnya selalu mengangkat tema lokal kehidupan suku Dayak Benuaq. “Menulis karya sastra itu akan lebih mudah dilakukan jika mengangkat tema yang dekat dengan keseharian kita,” ujarnya. Kiat itulah yang diikutinya ketika hendak menulis novel Upacara yang memenangkan penghargaan sastra bergengsi pada tahun 1976. Sejak itu Korrie selalu menulis roman dengan warna lokal masyarakat Dayak di pedalaman Kaltim, khususnya di Kutai Barat.
Bagi Korrie, mengangkat mitos dan legenda suku Dayak ke dalam novel juga dilakukannya untuk menyuarakan masyarakat di pedalaman. Kemiskinan masih merupakan jerat bagi kehidupan masyarakat setempat. “Padahal Kutai Barat ini termasuk wilayah yang kaya hasil hutan, tambang, maupun kelapa sawitnya,” tegasnya. Sebagai orang Dayak yang pernah hidup dalam kemiskinan dan berhasil meraih sukses di Ibu Kota, Korrie terus memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagai masyarakat di kampung halamannya.
Selain melalui karya sastra, Korrie juga berkarya secara nyata dengan kembali ke Barong Tongkok, Kutai Barat sejak tahun 2001. Di kota kecilnya itu Korrie menerbitkan harian Sendawar Pos, turut merintis pendirian Universitas Sendawar, dan juga menyiapkan pembangunan Pusat Dokumentasi Sastra Korrie Layun Rampan. “Saya sering prihatin melihat perpustakaan di sekolah-sekolah yang tak memiliki koleksi buku sastra,” ujarnya.
Tekadnya membangun daerah semakin nyata dengan terpilihnya Korrie menjadi anggota Dewan. “Banyak tawaran mengajar sebagai dosen tamu di luar negeri yang saya tolak, karena saya ingin tetap tinggal di Kutai Barat,” ujar Ketua Komisi I DPRD Kab. Kutai Barat ini mantap.
Biodata
Nama : Korrie Layun Rampan
Lahir : Barong Tongkok (Kutai Barat), 17 Agustus 1953
Jabata : Sejak 2004 Ketua Komisi I DPRD Kab. Kutai Barat
Sejak 2001 Pemred Koran Sendawar Pos
Sejak 2001 Menjadi Staf Pengajar di Univ. Sendawar Kutai Barat
Penghargaan : 2006 mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah RI
2004 mendapat anugerah Katim Post Award 2004
1998 Pemenang Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian
Jakarta untuk novel “Api Awan Asap”
1985 Penghargaan dari Yayasan Buku Utama Depdiknas
1976 Pemenang Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian
Jakarta untuk novel “Upacara”
No comments:
Post a Comment