
Di antara puluhan media cetak yang kian marak diterbitkan di Indonesia, berapakah yang mengkhususkan diri sebagai majalah humor atau kartun? Barangkali sebagian besar pembaca yang ditanya akan menggelengkan kepala. Sebagian kecil lainnya, yaitu pembaca yang tinggal di Jawa Bali, akan menyebut nama Bog-Bog. “Padahal, di India ada 17 majalah kartun, di Malaysia setidaknya ada 7, dan di Indonesia hanya ada satu, yaitu Bog-Bog Bali Cartoon Magazine,” kata Jango Paramartha, Business Director Bog-Bog.
Kegelisahan akan profesi kartunis Indonesia makin dirasakannya sejak tahun 1993 ketika berkesempatan menimba ilmu di University of Western Australia (ELICOS). “Di luar negeri, kartunis itu bukan hanya tukang gambar, tetapi bagian dari team researh. Kartun merupakan kajian budaya,” tegasnya. Karenanya, setelah dua tahun menamatkan studi dan kembali ke tanah air, Jango bertekat untuk terus mempopulerkan kartun.
Bagaimana kartun bisa memiliki nilai art yang berharga dan menjadi kegiatan bisnis merupakan misi yang terus dikembangkannya. Di kantornya yang asri, saya berbincang dengan bapak dua anak yang kini memangku jabatan sebagai Ketua Pakarti (Persatuan Kartunis Indonesia).
Setelah kembali dari Australia, langkah apa yang mula-mula Anda lakukan untuk mengembangkan dunia kartun?
Melihat bagaimana orang Australia menghargai kartun, saya terinspirasi membuat kartun tentang Bali. Tahun 1996 saya membuka toko t-shirt di Kuta yang menampilkan Bali dalam kemasan kartun. Bisnis ini saya tekuni hampir 5 tahun dan terpaksa saya tutup karena mahalnya biaya sewa toko di Kuta gara-gara krismon. Biaya sewa yang tadinya cuma belasan juta per tahun, tiba-tiba menjadi lebih dari seratus juta. Sangat nggak masuk akal. Saya pun mengembangkan bisnis lain, di bidang disain grafis, yaitu BOG Design. Sebenarnya latar belakang pendidikan saya memang disain grafis, saya alumni program studi seni rupa dan disain Universitas Udayana.
Tapi hobi bikin karikatur ya?
Ya. Sejak tahun 1991 saya menjadi kontributor harian Bali Post dan sejak tahun 2004 menjadi kontributor theJakarta Post. Dari sanalah saya banyak berdiskusi dengan rekan-rekan wartawan dan budayawan, seperti Oka Rusmini dan Umbu Landu Paranggi seniman yang sempat dijuluki Presidennya Malioboro. Dari mereka saya belajar banyak tentang filsafat budaya. Sampai kemudian saya bertemu dengan Linda Connor, guru besar Antropologi dari University of Newcasttle Australia. Dia meminta saya menjadi asisten di universitasnya. Ketika saya bertanya pada mahasiswa di sana, “Have you been to Bali?” hanya sekitar 5 orang yang mengiyakan, tetapi begitu saya sodori gambar kartun, mereka semua bisa tertawa. Pengalaman ini menyadarkan saya, bahwa kartun itu universal, bisa dipahami siapa pun secara lintas budaya.
Menarik sekali, orang asing telah menempatkan kartun sebagai visual culture sementara kita masih menganggapnya sekedar sebagai gambar lucu. Apa lagi nih pengalaman berharga lain yang Anda peroleh?
Suatu ketika saya mendapat order membuat kartun untuk sampul buku “Being Modern in Bali” karya Adrian Vickers, profesor Antropologi dari Wollongong University. Hanya untuk membuat cover buku saja, saya diajak tinggal di Australia selama 3 bulan. Setiap hari kami berdiskusi tentang isi buku itu. Ternyata modal seorang kartunis bukan cuma kemampuan gambar saja, tetapi juga pemahaman tentang kebudayaan yang mendalam sangat diperlukan.
Ngomong-ngomong apa yang kemudian melatarbelakangi Anda menerbitkan majalah kartun Bog-Bog?
Yang pasti ingin mempopulerkan kartun. Majalah merupakan media yang tepat untuk memperkenalkan kartun secara luas. Setelah hampir lima tahun berjalan, ternyata Bog-Bog makin diminati banyak orang. Bahkan ada yang mengusulkan untuk dijadikan majalah internasional. Begitu juga permintaan merchandise Bog-Bog berupa kaos, gantungan kunci, stiker, dan yang lain makin tinggi. Rencananya kami akan membuka toko khusus merchandise Bog-Bog dalam waktu dekat ini di Denpasar.
Artinya orang sudah mulai menyukai kartun...
Tapi kami tak berhenti di sini. Saya dan para kartunis Bog-Bog terus mencari berbagai terobosan baru dalam memasarkan kartun. Kami mulai bekerjasama dengan Hotel dan Wedding Organizer untuk membuat suvenir pernikahan berupa kartun. Biasanya pernikahan yang diselenggarakan di hotel kan tamu undangannya tidak banyak, paling 200-an orang. Setiap tamu undangan yang datang kami foto dengan kamera digital. Setelah itu ditransfer ke komputer, di-print, kemudian kami buat gambar kartunnya dan dipigura. Jadilah suvenir pernikahan yang ekslusif, para tamu merasa surprise pada saat pulang menerima gambar kartun wajahnya.
Gila, bagaimana Anda bisa mengerjakannya?
Haha, memang proyek gila. Kami mengerjakan hanya dalam waktu 3 jam dengan 8 kartunis Bog-Bog. Kerja kilat, sampai tangan kanannya pegel-pegel semua.
Setelah orang makin akrab dengan kartun, kira-kira apa mimpi Anda berikutnya?
Pengin bikin sekolah. Formatnya sih belum kebayang, tetapi semacam tempat belajar membuat kartun untuk siapa saja dari berbagai usia. Di sekolah itu akan diajarkan bagaimana membuat kartun yang menarik dan memiliki nilai seni. Kartun itu kan merupakan fine-art perpaduan antara rasa dan intelegensia. Sekarang ini, setelah reformasi, banyak kartun yang kebablasan. Cara menyembunyikan humornya kurang cerdas. Kartun yang baik adalah yang minim kata-kata. Sekalipun tanpa kata-kata, kartunis mampu membangun cerita. (Agustus, 2005)
No comments:
Post a Comment