Tuesday, 19 May 2009
didik Nini Thowok: "Tarian cross Gendr Sudah Ada Sejak Dulu"
Terlahir sebagai Kwee Tjoen Lian, putra pertama pasangan Kwee Yoe Tiang dan Suminah asal Temanggung ini memang memiliki bakat tari istimewa. Keahliannya memadukan seni tari dan komedi melahirkan sejumlah tarian cross gender yang fenomenal. Saat menjadi mahasiswa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) tahun 1974, perannya sebagai Mbok Dukun yang genit dan jenaka dalam fragmen Nini Thowok membuatnya seketika populer di Yogyakarta. Popularitas Didik kian melambung ketika melahirkan tarian Dwimuka pada tahun 1992. Dwimuka ini menjadi masterpiece Didik dan membawanya menjadi penari bertaraf internasional. “Sejak itu, pentas ke berbagai negara menjadi agenda rutin saya,” katanya.
Kini, setelah 30 tahun berkarya, Didik kian memantapkan diri menjadi penari cross gender. Di antara kesibukannya menyiapkan agenda pementasan di luar negeri tahun 2006 mendatang, saya berkesempatan menemuinya di Studio Tari Didik Nini Thowok Jl. Raya Godean – Yogyakarta. Ia pun berkisah tentang pergulatannya mengandalkan hidup sebagai penari profesional.
Kalau boleh tahu, bakat seni Anda mengalir dari ayah atau ibu?
Orang tua saya itu cuma pedagang kecil yang hidupnya pas-pasan di Temanggung. Seperti kebanyakan orang tua miskin yang berpendidikan rendah lainnya, tiap hari kerjanya cuma cari uang agar bisa menghidupi anak-anak. Mereka tidak punya pengetahuan tentang pertumbuhan anak-anak seperti orang tua jaman sekarang. Tetapi saya beruntung punya ayah yang gemar menonton kethoprak dan wayang. Waktu kecil saya sering diajak nonton pertunjukkan seni tradisional. Barangkali kebiasaan itu yang tertanam dalam alam bawah sadar saya, membuat saya menyukai seni.
Apa yang membuat Anda memilih menekuni dunia tari?
Meskipun dari kecil sudah hobi menari, tapi sebenarnya saya lebih berminat pada seni lukis. Waktu mau melanjutkan kuliah pun sempat bingung memilih jurusan, tari atau lukis.
Atas dukungan kawan-kawan, kemudian saya memilih ASTI di Yogyakarta. Sembari kuliah, job menari sering saya terima apalagi sejak fragmen Nini Thowok. Kebetulan saya juga berprestasi di kampus. Tahun 1976 saya meraih predikat mahasiswa teladan dan mendapat beasiswa ikatan dinas sebagai dosen di ASTI. Setelah 8 tahun mengajar, saya mendapat tawaran keliling Eropa selama 3 bulan dari mantan mahasiswa saya, Francine Van Hoof. Saya nekat menjual mobil untuk ongkos tikep pulang pergi, karena akomodasi selama di sana sudah ditanggung. Dari sanalah saya membangun network yang hingga kini terus terjaga.
Selain network ilmu apa saja yang Anda peroleh?
Perjalanan ke Eropa itu memang penuh kenekatan, sampai memutuskan berhenti mengajar di ASTI. Apa yang saya korbankan tidak dibanding yang saya peroleh setelah keliling Eropa. Di sana saya belajar bagaimana mengelola sanggar karena saya ingin hidup dari berkesenian, hanya menggantungkan hidup dari dunia seni. Dari sanalah saya belajar berpikir kreatif, selain berkarya juga harus memikirkan bagaimana sanggar bisa menghasilkan uang untuk menggaji karyawan. Saya tidak ingin jadi seniman yang malas. Untungnya saya sudah terbiasa digembleng disiplin sejak kecil, terutama oleh kakek. Saya termasuk orang yang cukup disiplin, suka bekerja, dan nggak malu kerja apa saja. Sikap mental itu benar-benar menolong ketika saya berada di luar negeri.
Sekarang Anda dikenal publik sebagai “penari wanita” yang sangat luwes. Bagaimana mempelajarinya?
Dalam tradisi tari di Jawa, tari putra dan tari putri dipelajari bersama. Guru tari di kraton umumnya juga laki-laki. Di ASTI setiap mahasiswa harus bisa menarikan tari putra dan tari putri. Ternyata tari putri saya lebih menonjol. Setelah pementasan Nini Thowok, saya baru sadar barangkali saya harus memperdalam ilmu ini, menarikan tarian wanita. Jangan dikira menarikan tarian wanita itu mudah lho. Bagaimana gerakan tangan dan pandangan mata semua ada strukturnya, ada rule-nya, nggak boleh sembarangan.
Bagaimana dengan buku Cross Gender Didik Nini Thowok yang Anda terbitkan?
Dalam perjalanan saya ke berbagai negara, saya bertemu dengan seniman-seniman yang menjalani profesi sebagai penari seperti saya. Masyarakat yang nggak ngerti, tarian seperti ini dianggap banci. Padahal, tarian cross gender itu sudah ada sejak dulu. Wanita memerankan tarian laki-laki, begitu pula yang laki-laki menarikan tarian wanita. Bahkan ada tarian cross gender yang sakral. Pengalaman ini kemudian melahirkan gagasan untuk menerbitkan buku supaya orang lebih mengenal tarian cross gender. Tapi kalau saya sendiri yang nulis nanti dikira membela diri, sementara ada pengamat lain yang lebih pakar. Yang menyumbangkan tulisan di buku ini pakar tari dari berbagai negara, Jepang, Cina, India, dan tentu juga Indonesia. Mereka pengamat seni tari yang sudah bergelar doktor dan profesor. Dalam buku itu diulas tentang sejarah tarian cross gender dan bagaimana setiap kebudayaan ternyata memiliki tarian cross gender. (tita 17/11/05)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment